Program pengentasan kemiskinan
selalu menjadi agenda utama pembangunan di negara ini. Program Master Plan
Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah diluncurkan dan
diharapkan mampu mengentaskan masyarakat dari jeratan kemiskinan. Untuk
merealisasikan program rersebut, setiap kementerian mempunyai agenda
pengurangan penduduk miskin, diantaranya: program Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Beras Rakyat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Menko Perekonomian, Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) dari Kementerian Kesehatan dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
dari Kementerian Pendidikan. Program–program sosial ini begitu lekat di
masyarakat meskipun sebenarnya masih banyak lagi dana yang digulirkan
pemerintah untuk masyarakat. Di Kementerian Pendidikan, misalnya, selain dana
BOS yang disalurkan melalui lembaga pendidikan formal, jalur pendidikan non
formal juga menyalurkan bantuan sosial yang diperuntukan bagi masyarakat baik melalui lembaga
pemerintah (SKB, BPKB) maupun non pemerintah (LKP, PKBM, dan yayasan pendidikan
sejenis yang ada di masyarakat). Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat mengakses
bantuan sosial dari Direkorat Pembinaan Kursus dan Kursus diantaranya Program Desa Vokasi, Pendidikan Kewirausahaan
Masyarakat (PKM) dan Pendidikan Kecakapan Hidup yang diarahkan agar orang
dewasa usia produktif yang sudah tidak lagi mengikuti pendidikan formal, minim
ketrampilan (unskill), minim
pendapatan (jobless), memperoleh bantuan
kursus sebagai bekal untuk bekerja atau
berwirausaha.
Upaya pengatasan terhadap
pengangguran dan kemiskinan memerlukan program yang tepat guna dan tepat
sasaran. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk Indonesia saat ini 257 juta
jiwa dengan jumlah pengangguran terbuka tahun 2011 sejumlah 7,7 juta jiwa.
Pengangguran terbuka ini dikelompokkan menurut tamatan pendidikan tertinggi,
sejumlah 877 ribu jiwa yang tidak atau belum lulus SD dan 3,01 juta lulusan SD
dan SMP, 3,07 juta lulusan SLTA, 244
ribu Lulusan diploma dan 492 ribu jiwa lulusan PT (BPS, 2011). Data tersebut
menunjukkan bahwa dominasi pengangguran adalah pada jumlah lulusan SD, SMP dan
SMA.
Masih tingginya angka
pengangguran di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: minimnya
lapangan kerja yang tersedia, semakin menyempitnya lahan pertanian di daerah
pedesaan, rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan masyarakat, terbatasnya
akses informasi tentang kebutuhan pasar kerja, dan tidak relevannya kompetensi
yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan lapangan kerja. Dalam
menghadapi berbagai persoalan seperti itu, lapangan kerja sektor informal
merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai
persoalan ketenagakerjaan tersebut, dan menyiapkan tenaga kerjanya dengan penyelenggaraan Kursus Para Profesi
(KPP) sektor Informal. Dalam kenyataannya, Kebutuhan tenaga kerja sektor informal masih
banyak dibutuhkan. Namun dalam waktu yang bersamaan, masyarakat masih memandang
sebelah mata terhadap profesi ini, sementara itu pengguna jasa maupun kebutuhan
akan pekerjaan bagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang
mendominasi pengangguran dapat dijadikan solusi dalam memberdayakan masyarakat
miskin untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan tetap.
Seiring dengan semakin besarnya
jumlah perempuan bekerja di luar rumah, keberadaan tenaga penata laksana rumah
tangga (PLRT) semakin banyak dibutuhkan oleh masyarakat, terutama keluarga di
daerah perkotaan maka KPP sektor informal khususnya bidang Ketatalaksanaan
Rumah Tangga merupakan alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan
sesuai dengan kualifikasinya.
Dewasa ini ibu bekerja di luar
rumah sudah menjadi fenomena umum, dan kondisi inipun dapat memberikan dampak
positif bagi perkembangan anak (dari satu sisi: kemandirian). Namun banyak sisi
lain yang lebih penting untuk diperhatikan diantaranya adanya tenaga yang mampu
membantu pekerjaan di rumah. Selama ini pekerjaan sebagai Penata Laksana Rumah
Tangga merupakan alternatif terakhir jika masih ada peluang kerja yang lain.
Hal ini terjadi karena masyarakat memandang bahwa pembantu rumah tangga dan
penata laksana rumah tangga identik dengan image “pelayan” dan pelayan harus
tunduk pada majikan. Demikian pula pekerjaan ini tergolong sangat rentan
terhadap pelanggaran hak-hak pekerja, diantaranya hak atas gaji yang layak, hak
mendapat pelayanan kesehatan, hak mendapat hiburan, hak untuk istirahat
(Iswati, 2001). Kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya perundangan
khusus yang mengatur tentang tenaga kerja yang bekerja dibidang pembantu rumah
tangga maupun penata laksana rumah tangga.
Ketika banyak orang bicara
tentang keadilan, kesetaraan, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), sepertinya
orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa menikmati demokrasi dan hak asasi
tersebut tetapi bisa membuat banyak orang tersebut merasa hebat dalam segala
hal. Mereka adalah tenaga Tata Laksana Rumah Tangga (TLRT), kelompok yang
dianggap sepele dan kelompok yang dianggap tidak penting, namun ternyata
merekalah yang mempunyai andil besar bagi mereka yang menggunakan jasanya.
Pekerjaan sehari-hari yang mereka lakukan yaitu; menyiapkan makan, mencuci,
menyetrika, menyapu dll. Tapi tanpa pernah berpikir, bahwa tanpa tenaga TLRT,
perempuan atau pun laki-laki yang bekerja diluar rumah tidak bisa mengerjakan
pekerjaan rumah dan tidak bisa berkarier di luar rumah. Tenaga TLRT ini rentan
terhadap kekerasan misal: fisik, psikis, ekonomi, sosial. Tenaga TLRT ini
banyak ditemui mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah
ataupun tidak dibayar, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam
kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan. Selain itu mereka juga tidak
mendapatkan hari libur mingguan, cuti, minim kesempatan untuk bergaul
atau bermasyarakat, rentan akan eksploitasi agen, korban trafficking,
tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan. Sementara di
sisi lain perlindungan hukum baik di level lokal dan nasional tidak melindungi
tenaga TLRT. Dalam realitasnya, jutaan tenaga TLRT mengalami persoalan
eksploitasi, kerentanan pelecehan dan kekerasan, dan mereka tak berdaya
menyuarakannya. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah PRT terbesar
dengan 10 juta PRT lokal dan 6 juta PRT migran. Dari 2007 sampai dengan 2011,
tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap tenaga TLRT di Indonesia, yang mana
536 kasus upah tak dibayar, 348 diantaranya terjadi pada PRTA, 617 kasus
penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal.
Untuk mengurangi
permasalahan-permasalahan tenaga TLRT salah satunya mengikis pandangan bahwa
pekerjaan sebagai tenaga TLRT merupakan pekerjaan yang didominasi oleh
perempuan berlatar pendidikan rendah dan status sosial ekonomi yang rendah
sehingga kompetensinya menjadi rendah pula perlu dikikis dengan membekali calon
tenaga TLRT melalui Kursus Para Profesi bidang Tata Laksana Rumah Tangga dan
mengkhususkan tugas TLRT menjadi
beberapa kelompok diantaranya House keeper, babysitter, nanny,
governess, care giver dan
membekalinya dengan pengetahuan umum serta pendampingan calon tenaga TLRT dalam
melaksanakan kesepakatan kerja sebelum memulai bekerja.
Hasil eksplorasi yang dilakukan
oleh tim pengembang di enam lokasi yaitu di Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo,
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Bantul dan Propinsi
Lampung dengan responden LKP yang menyelenggarakan kursus TLRT, calonengguna
dan calon peserta didik menunjukkan fakta sebagai berikut: (1) dalam pandangan
LKP penyelenggrara Kursus TLRT, kursus yang selama ini dilakukan kurang adanya
keseragaman materi yang diberikan kepada peserta didik sehingga lulusannya
berbeda kompetensinya dan pada sebagian besar LKP, struktur kurikulum yang
digunakan kurang jelas pembagian materinya (materi Umum, inti, penunjang)
sedang sarana belajar dan media belajar di LKP sudah cukup memadai untuk teori
maupun praktek; (2) dalam pandangan masyarakat calon pengguna tenaga TLRT,
rata-rata masyarakat sangat membutuhkan dengan kompetensi penguasaan secara
teknis keterampilan inti sesuai program masing-masing untuk Bidang TLRT dan
yang sangat penting perlu ditambahkan pengetahuan umum diantaranya adalah sopan
santun/tata krama, etika, kejujuran, kedisiplinan, pengendalian emosi/kesabaran
dan tanggungjawab, dan (3) dari pandangan calon peserta didik, masih banyak
masyarakat yang sangat membutuhkan pekerjaan tetapi belum punya keterampilan
secara khusus sedang kebutuhan dunia kerja membutuhkan SDM yang sudah siap
bekerja dan menguasai bidang pekerjaanya secara menyeluruh. Sasaran diarahkan
ke daerah pedesaan yang tingkat pendidikan masyarakatnya masih tergolong
rendah, tetapi keadaan di lapangan, dunia industripun sudah merambah ke pelosok
desa dengan persyaratan yang minim sekali sehingga masyarakat banyak yang
bergabung di dunia industri ini karena jelas jenis pekerjaannya. Untuk
meningkatkan daya tarik peluang kerja di bidang Tata Laksana Rumah Tangga tim pengembang mengkhususkan bidang kerja di
TLRT yang terbagi menjadi 5 bidang yaitu House keeper, Baby Sitter, Nanny,
Governnes dan care giver. Dengan pembagian kerja yang jelas di TLRT
diharapkan masyarakat lebih tertarik sehingga kebutuhan tenaga kerja di bidang
TLRT dapat terpenuhi.
Memperhatikan berbagai persoalan
ketenaga kerjaan dan kebutuhan masyarakat akan TLRT, selanjutnya diperlukan
prakarsa inovatif dan efisien untuk memberikan layanan kursus yang memungkinkan
calon tenaga kerja TLRT memiliki kompetensi tertentu seperti yang diharapkan
oleh masyarakat. Untuk memenuhi maksud tersebut kelompok kerja vokasi Pusat
Pengembangan Pendidikan Anak Usia dini, Nonformal dan Informal, mengembangkan
model KPP sektor Informal bidang TLRT berbasis kompetensi dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat akan tenaga TLRT yang memiliki kompetensi tertentu.