Rabu, 12 Desember 2012

Kebutuhan Kursus Tata Laksana Rumah Tangga di Indonesia



Program pengentasan kemiskinan selalu menjadi agenda utama pembangunan di negara ini. Program Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah diluncurkan dan diharapkan mampu mengentaskan masyarakat dari jeratan kemiskinan. Untuk merealisasikan program rersebut, setiap kementerian mempunyai agenda pengurangan penduduk miskin, diantaranya: program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras Rakyat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Menko Perekonomian, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dari Kementerian Kesehatan dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kementerian Pendidikan. Program–program sosial ini begitu lekat di masyarakat meskipun sebenarnya masih banyak lagi dana yang digulirkan pemerintah untuk masyarakat. Di Kementerian Pendidikan, misalnya, selain dana BOS yang disalurkan melalui lembaga pendidikan formal, jalur pendidikan non formal juga menyalurkan bantuan sosial yang diperuntukan  bagi masyarakat baik melalui lembaga pemerintah (SKB, BPKB) maupun non pemerintah (LKP, PKBM, dan yayasan pendidikan sejenis yang ada di masyarakat). Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat mengakses bantuan sosial dari Direkorat Pembinaan Kursus dan Kursus diantaranya  Program Desa Vokasi, Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) dan Pendidikan Kecakapan Hidup yang diarahkan agar orang dewasa usia produktif yang sudah tidak lagi mengikuti pendidikan formal, minim ketrampilan (unskill), minim pendapatan (jobless), memperoleh bantuan  kursus sebagai bekal untuk bekerja atau berwirausaha.
Upaya pengatasan terhadap pengangguran dan kemiskinan memerlukan program yang tepat guna dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk Indonesia saat ini 257 juta jiwa dengan jumlah pengangguran terbuka tahun 2011 sejumlah 7,7 juta jiwa. Pengangguran terbuka ini dikelompokkan menurut tamatan pendidikan tertinggi, sejumlah 877 ribu jiwa yang tidak atau belum lulus SD dan 3,01 juta lulusan SD dan SMP, 3,07 juta lulusan SLTA,  244 ribu Lulusan diploma dan 492 ribu jiwa lulusan PT (BPS, 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa dominasi pengangguran adalah pada jumlah lulusan SD, SMP dan SMA.
Masih tingginya angka pengangguran di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: minimnya lapangan kerja yang tersedia, semakin menyempitnya lahan pertanian di daerah pedesaan, rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan masyarakat, terbatasnya akses informasi tentang kebutuhan pasar kerja, dan tidak relevannya kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan lapangan kerja. Dalam menghadapi berbagai persoalan seperti itu, lapangan kerja sektor informal merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai persoalan ketenagakerjaan tersebut, dan menyiapkan tenaga kerjanya  dengan penyelenggaraan Kursus Para Profesi (KPP) sektor Informal. Dalam kenyataannya,  Kebutuhan tenaga kerja sektor informal masih banyak dibutuhkan. Namun dalam waktu yang bersamaan, masyarakat masih memandang sebelah mata terhadap profesi ini, sementara itu pengguna jasa maupun kebutuhan akan pekerjaan bagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang mendominasi pengangguran dapat dijadikan solusi dalam memberdayakan masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan tetap.
Seiring dengan semakin besarnya jumlah perempuan bekerja di luar rumah, keberadaan tenaga penata laksana rumah tangga (PLRT) semakin banyak dibutuhkan oleh masyarakat, terutama keluarga di daerah perkotaan maka KPP sektor informal khususnya bidang Ketatalaksanaan Rumah Tangga merupakan alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kualifikasinya.
Dewasa ini ibu bekerja di luar rumah sudah menjadi fenomena umum, dan kondisi inipun dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan anak (dari satu sisi: kemandirian). Namun banyak sisi lain yang lebih penting untuk diperhatikan diantaranya adanya tenaga yang mampu membantu pekerjaan di rumah. Selama ini pekerjaan sebagai Penata Laksana Rumah Tangga merupakan alternatif terakhir jika masih ada peluang kerja yang lain. Hal ini terjadi karena masyarakat memandang bahwa pembantu rumah tangga dan penata laksana rumah tangga identik dengan image “pelayan” dan pelayan harus tunduk pada majikan. Demikian pula pekerjaan ini tergolong sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak pekerja, diantaranya hak atas gaji yang layak, hak mendapat pelayanan kesehatan, hak mendapat hiburan, hak untuk istirahat (Iswati, 2001). Kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya perundangan khusus yang mengatur tentang tenaga kerja yang bekerja dibidang pembantu rumah tangga maupun penata laksana rumah tangga.
Ketika banyak orang bicara tentang keadilan, kesetaraan, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), sepertinya orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa menikmati demokrasi dan hak asasi tersebut tetapi bisa membuat banyak orang tersebut merasa hebat dalam segala hal. Mereka adalah tenaga Tata Laksana Rumah Tangga (TLRT), kelompok yang dianggap sepele dan kelompok yang dianggap tidak penting, namun ternyata merekalah yang mempunyai andil besar bagi mereka yang menggunakan jasanya. Pekerjaan sehari-hari yang mereka lakukan yaitu; menyiapkan makan, mencuci, menyetrika, menyapu dll. Tapi tanpa pernah berpikir, bahwa tanpa tenaga TLRT, perempuan atau pun laki-laki yang bekerja diluar rumah tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan tidak bisa berkarier di luar rumah. Tenaga TLRT ini rentan terhadap kekerasan misal: fisik, psikis, ekonomi, sosial. Tenaga TLRT ini banyak ditemui mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah ataupun tidak dibayar, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan. Selain itu mereka juga tidak mendapatkan hari libur mingguan, cuti,  minim kesempatan untuk bergaul atau bermasyarakat, rentan akan eksploitasi agen,  korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan. Sementara di sisi lain perlindungan hukum baik di level lokal dan nasional tidak melindungi tenaga TLRT. Dalam realitasnya, jutaan tenaga TLRT mengalami persoalan eksploitasi, kerentanan pelecehan dan kekerasan, dan mereka tak berdaya menyuarakannya. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah PRT terbesar dengan 10 juta PRT lokal dan 6 juta PRT migran. Dari 2007 sampai dengan 2011, tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap tenaga TLRT di Indonesia, yang mana 536 kasus upah tak dibayar, 348 diantaranya terjadi pada PRTA, 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal.
Untuk mengurangi permasalahan-permasalahan tenaga TLRT salah satunya mengikis pandangan bahwa pekerjaan sebagai tenaga TLRT merupakan pekerjaan yang didominasi oleh perempuan berlatar pendidikan rendah dan status sosial ekonomi yang rendah sehingga kompetensinya menjadi rendah pula perlu dikikis dengan membekali calon tenaga TLRT melalui Kursus Para Profesi bidang Tata Laksana Rumah Tangga dan mengkhususkan  tugas TLRT menjadi beberapa kelompok diantaranya House keeper, babysitter, nanny, governess,  care giver dan membekalinya dengan pengetahuan umum serta pendampingan calon tenaga TLRT dalam melaksanakan kesepakatan kerja sebelum memulai bekerja.
Hasil eksplorasi yang dilakukan oleh tim pengembang di enam lokasi yaitu di Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Bantul dan Propinsi Lampung dengan responden LKP yang menyelenggarakan kursus TLRT, calonengguna dan calon peserta didik menunjukkan fakta sebagai berikut: (1) dalam pandangan LKP penyelenggrara Kursus TLRT, kursus yang selama ini dilakukan kurang adanya keseragaman materi yang diberikan kepada peserta didik sehingga lulusannya berbeda kompetensinya dan pada sebagian besar LKP, struktur kurikulum yang digunakan kurang jelas pembagian materinya (materi Umum, inti, penunjang) sedang sarana belajar dan media belajar di LKP sudah cukup memadai untuk teori maupun praktek; (2) dalam pandangan masyarakat calon pengguna tenaga TLRT, rata-rata masyarakat sangat membutuhkan dengan kompetensi penguasaan secara teknis keterampilan inti sesuai program masing-masing untuk Bidang TLRT dan yang sangat penting perlu ditambahkan pengetahuan umum diantaranya adalah sopan santun/tata krama, etika, kejujuran, kedisiplinan, pengendalian emosi/kesabaran dan tanggungjawab, dan (3) dari pandangan calon peserta didik, masih banyak masyarakat yang sangat membutuhkan pekerjaan tetapi belum punya keterampilan secara khusus sedang kebutuhan dunia kerja membutuhkan SDM yang sudah siap bekerja dan menguasai bidang pekerjaanya secara menyeluruh. Sasaran diarahkan ke daerah pedesaan yang tingkat pendidikan masyarakatnya masih tergolong rendah, tetapi keadaan di lapangan, dunia industripun sudah merambah ke pelosok desa dengan persyaratan yang minim sekali sehingga masyarakat banyak yang bergabung di dunia industri ini karena jelas jenis pekerjaannya. Untuk meningkatkan daya tarik peluang kerja di bidang Tata Laksana Rumah Tangga  tim pengembang mengkhususkan bidang kerja di TLRT yang terbagi menjadi 5 bidang yaitu House keeper, Baby Sitter, Nanny, Governnes dan care giver. Dengan pembagian kerja yang jelas di TLRT diharapkan masyarakat lebih tertarik sehingga kebutuhan tenaga kerja di bidang TLRT dapat terpenuhi.
Memperhatikan berbagai persoalan ketenaga kerjaan dan kebutuhan masyarakat akan TLRT, selanjutnya diperlukan prakarsa inovatif dan efisien untuk memberikan layanan kursus yang memungkinkan calon tenaga kerja TLRT memiliki kompetensi tertentu seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Untuk memenuhi maksud tersebut kelompok kerja vokasi Pusat Pengembangan Pendidikan Anak Usia dini, Nonformal dan Informal, mengembangkan model KPP sektor Informal bidang TLRT berbasis kompetensi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga TLRT yang memiliki kompetensi tertentu.

1 komentar: